Sastra, MEA, dan Penyatuan Masyarakat Melayu

Dok. Pribadi Junaidi Khab_Merenda Kasih

Kehadiran karya ini merupakan sebuah katalisator yang akan mengingatkan kita tentang nenek moyang bangsa Indonesia yang lahir dari suku masyarakat Melayu. Di Asia, ada beberapa negara yang sama-sama memiliki darah Melayu, di antaranya Indonesia, Malaysia, Singapura, dan Brunei. Empat negara ini disatukan oleh kekuatan darah Melayu yang sama-sama mengalir di dalam urat nadinya. Hal tersebut digambarkan oleh A’yat Khalili dengan umpama “Jejak Tanah”, Pada tanah tempat lahirmu/ kami hirup wangi luyah tak tertepi/ (hlm. 11). Ini yang menjadi saksi bahwa masyarakat Melayu tetap satu dari awal penciptaannya.

Karya ini menyuguhkan beberapa karya sastra berupa puisi dari para penyair empat negara dengan satu kebangsaan masyarakat Melayu. Inisiatif tersebut berangkat dari gagasan cemerlang Rohani Din dari  Singapura, agar sesama masyarakat Melayu tetap utuh dan bersatu, lebih-lebih dalam menghadapi pasar bebas Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang sudah mulai menginjakkan kakinya di bumi Asia.

Baca: Menyindir Perilaku Para Pejabat

Melalui personifikasi karya sastra ini, kiranya bangsa Indonesia akan mampu menyadari dirinya untuk tetap menjaga persatuan sesama keturunan masyarakat Melayu. Kita harus tetap menjaga persaudaraan dengan baik. Dalam hal ini, penyatuan masyarakat Melayu sebagai bangsa yang satu harus benar-benar diperkuat agar bangsa kita tidak kalah bersaing dengan bangsa-bangsa dari beberapa negara Asia lainnya.

Baca juga: Hikmah Ramadhan dari Sebuah Komik

Jika dicermati secara saksama kandungan syair di dalam karya ini menunjukkan suatu kecintaan dan persaudaraan dalam diri suku Melayu. Hal tersebut salah satunya tercermin dalam karya Chong Ah Fok, Laut Nusantara. Karya-karya yang terhimpun ibarat air laut yang menyatukan kita dengan berbagai budaya namun tetap bersatu. Demi kelangsungan kehidupan/ serantau dan antarbangsa/ kau jadi saksi penduduk negara-negara ini/ sejahtera dan harmoni senantiasa (hlm. 19). Sejatinya kita dengan masyarakat di beberapa negara merupakan satu kebangsaan yang disatukan oleh laut dan samuderanya yang begitu luas. Hanya kita yang perlu menyadari dan saling menyemai harapan untuk tetap berpegang tangan.

Bangsa yang Kuat

Kita mempunyai banyak harapan bahwa bangsa Melayu akan menjadi bangsa yang kuat. Hal tersebut bisa terwujud jika kita tidak melupakan leluhur yang menjadi jantung kehidupan sejak beberapa abad yang silam. Sebagai keturunan darah Melayu, bangsa sesama Melayu banyak melewati peristiwa yang memecah-belah. Hal tersebut disebabkan bangsa Melayu mudah terpengaruh oleh hasutan orang-orang yang tidak senang jika bangsa Melayu bersatu.

Baca lainnya: Belajar dari Peraih Nobel Karya Sastra

Ada upaya realistik yang digambarkan oleh Rohani Din untuk menyatukan masyarakat Melayu dengan cara bersama-sama bergandengan tangan. Bersamalah kita/ benar-benar wujudkan keamanan dan perdamaian/ (hlm. 116). Ibarat satu lidi yang berusaha membersihkan sampah, ia tidak akan mampu. Namun, jika lidi-lidi itu disatukan hingga menjadi sapu, ia akan mampu membersihkan sampah yang akan menjadi sebab penyakit bersarang dan menyerang kita. Dengan persatuan masyarakat Melayu, kita akan menjadi bangsa yang kuat.

Begitulah gambaran masyarakat Melayu dalam menghadapi era yang semakin penuh dengan persaingan, baik di bidang ekonomi, politik, dan budaya. Sayangnya, masih ada beberapa lantunan syair yang hanya mencerminkan subjektivitas pribadi sebagai bangsa yang berangkat dari budaya dan tradisi tertentu. Namun, hal tersebut tidak menjadi pemicu kerenggangan antar sesama masyarakat Melayu. Hanya saja seakan tidak memedulikan dengan peristiwa internasional di kalangan negara Melayu yang telah dan sedang berkonflik dalam persoalan budaya-tradisi.

Baca juga: Membincang Sastra dan Agama

Kumpulan puisi ini akan mengantarkan para pembaca menuju bahtera kehidupan yang terus dicaci namun juga dipuji. Narasi dan untaian kata-katanya penuh pengharapan kedatangan wahyu literasi dari balik diksi yang tersembunyi. Sebagaimana diungkap oleh Korrie Layun Rampan bahwa sajak-sajak ini merupakan lirik naratif yang patetis. Dalam hubungan penciptaan sajak-sajak yang demikian, Zarathustra yang dipakai F.W. Nietzsche (1844-1900) puisi sebagai corong kata-kata dan pikiran menyebutkan bahwa pencipta melayani imajinasi di dalam penderitaan yang indah.

Syair-syair ini merupakan sebuah rekonstruksi kehidupan masyarakat lokal Melayu yang direpresentasikan dari kehidupan budaya masyarakat empat negara. Bahasa dan diksi yang digunakan mampu mengupas hakikat yang tersirat dan tersurat tentang kehidupan masyarakat Melayu yang selalu humanis, agamis dan sosialis terhadap lingkungannya. Kata-katanya terus hidup dan menyala untuk membangkitkan masyarakat Melayu agar menjadi bangsa yang bersatu dan kuat. Mari, kita jaga persaudaraan antar sesama masyarakat Melayu melalui media sastra, terlebih khusus menghadapi pasar bebas MEA yang mulai mendayung di atas lautan Asia!

Judul               : Merenda Kasih Karya-Karya Penyair 4 Negara

Penyusun         : Rohani Din

Penerbit           : KKK

Cetakan           : I, Januari 2016

Tebal               : 148 hlm; 13,5 x 20,5 cm

ISBN               : 978-602-8966-76-4

Peresensi         : Junaidi Khab*

* Peresensi adalah Akademisi dan Pecinta Baca Buku Asal Sumenep, lulusan Sastra Inggris Fakultas Adab dan Humaniora UIN Sunan Ampel Surabaya, Jawa Timur, Indonesia.

One Response to Sastra, MEA, dan Penyatuan Masyarakat Melayu

  1. Pingback: Sastra dan Persatuan Suku Masyarakat Melayu | junaidikhab

Leave a comment